Jangan Main-Main Dengan Kata "Fuck"

No Comments
Tahukah Kamu Apa Itu ‘Fuck’?

Beberapa dari Anda mungkin sudah sering mendengar kata-kata tersebut, baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam percakapan yang terjadi di layar film.

Bisa jadi Anda mendengar kata fuck terselip dalam percakapan yang ada di film dewasa keluaran Hollywood. Atau, ketika mendengar lirik lagu yang cukup eksplisit? Mungkin di situ ada kesan “keren” yang terlihat. Padahal, sebenarnya kata fuck merupakan kata kasar, tabu, juga sumpah serapah yang pada dasarnya tak layak untuk diucapkan dan menyalahi etika sosial secara umum.

Begitu besar kesan negatifnya hingga bisa jadi Anda menyinggung seseorang jika sembarangan menggunakan kata ini. Oleh sebab itu, dapat dipastikan lembaga sensor akan menyunting keberadaan kata fuck jika digunakan sebuah film atau lagu, apalagi jika ditayangkan di televisi atau radio.

Namun, mungkin ada juga sebagian orang yang sama sekali tidak pernah mendengar kata tersebut sehingga tidak tahu juga apa arti dari kata tersebut.

Fuck merupakan kata dari bahasa Inggris yang memiliki berbagai macam makna, sesuai dengan konteks yang ada dalam percakapan yang dilakukan. Namun, secara leksikal, kata tersebut memiliki makna ‘bercinta’ yang biasanya dipergunakan oleh orang-orang kalangan menengah ke bawah di negara Amerika.
Kata tersebut kemudian memperluas maknanya menjadi sesuatu yang jika dikatakan bermakna sebagai ‘persetan’, ‘kurang ajar’, atau hal lain yang memiliki makna negatif dalam pergaulan remaja Amerika sehari-hari.

Misalnya saja, kata ‘Fuck you’ yang memiliki makna ‘keparat kamu!’ atau ‘persetan dengan kamu’ ini mudah saja diucapkan oleh remaja Amerika dalam keadaan bercanda ataupun marah.
Kata tersebut mungkin setara dengan penggunaan kata ‘anjing’ pada masyarakat Indonesia.
Baik dalam konteks bercanda maupun serius (saat marah), kata-kata tersebut bisa keluar secara spontan karena kebiasaan berbahasa yang tidak baik dalam lingkungan pergaulan.

Sayangnya, kata ‘fuck’ yang dalam budaya Amerika sendiri dipandang sebelah mata oleh kalangan berpendidikan, malah diserap dengan mudah oleh kalangan berpendidikan di Indonesia.

Banyak dari pelajar Indonesia yang mempergunakan kata tersebut untuk kepentingan yang tidak lazim. Bahkan beberapa remaja perempuan pun tidak lepas dari kebiasaan mengeluarkan kata tersebut ketika melakukan pembicaraan.

Budaya Berbicara yang Salah

Munculnya banyak bahasa serapan di Indonesia menjadikan masyarakat Indonesia harus mampu memilih mana kata yang baik untuk diserap dan dipergunakan, serta kata mana yang tidak baik untuk dilontarkan.

Misalnya saja, pada masyarakat luar negeri, contohnya Amerika, penggunaan sapaan ‘dog’ pada teman adalah hal yang biasa. Bahkan sapaan tersebut dianggap mampu meningkatkan mutu persahabatn satu sama lain.

Dengan mengucapkan ‘hey, you dog!’, mereka berarti menganggap bahwa kawan yang disapanya adalah kawan baik yang akrab dan setia dalam hubungan persahabatan mereka selama ini.

Hal tersebut kemudian diikuti oleh masyarakat Indonesia dengan penggunaan kata ‘Anjing lo!’ atau kalimat lain yang masih bernada miring. Namun, perbedaan kebudayaan yang mendasar antara masyarakat Amerika dan Indonesia seharusnya menjadi pertimbangan saat masyarakat Indonesia hendak mengikuti budaya asing tersebut.

Di Amerika, anjing adalah binatang yang sangat disayangi, dihargai, bahkan seringkali dianggap sama dengan manusia. Mereka makan makanan mahal, menggunakan sabun dan sampo khusus anjing, serta diperlakukan setara dengan manusia.

Hal itu cukup menjadi bukti bahwa anjing bukanlah hal negatif, melainkan hal positif yang jika masyarakat Amerika menyamakan diri mereka dengan anjing, artinya mereka adalah orang baik-baik.

Lain halnya dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas masih menganggap anjing sebagai binatang najis yang haram untuk didekati. Dengan adanya stigma seperti itu, bisa disimpulkan bahwa penggunaan sapaan ‘anjing’ bagi manusia Indonesia kurang tepat adanya.

Anjing dalam bahasa Indonesia lebih berkonotasi negatif dibandingkan dengan ‘dog’ dalam budaya Amerika sehingga seyogyanya, ada pertimbangan budaya yang harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum masyarakat Indonesia menyerap berbagai budaya berbicara dalam bahasa asing.
Termasuk dalam penyerapan kata ‘fuck’ yang dalam bahasa Inggris sendiri sudah jelas-jelas merupakan sebuah kata yang dianggap negatif dan mampu menimbulkan perselisihan dalam percakapan bercanda sekali pun.

Oleh karena itu, hindarilah budaya berbicara yang salah dengan menambah ilmu dan wawasan, serta kepekaan kita dalam berbahasa. Karena budaya sebuah negara akan terlihat dari bahasa yang digunakan penutur budaya tersebut.

Kesopanan Dalam Berbahasa

Layaknya bahasa Jawa yang punya tingkatan dalam penggunaannya, bahasa Inggris juga punya tingkat kesopanan  tersendiri. Nah, ‘fuck’ ini termasuk kata kasar dan vulgar, bahkan berdasarkan sebuah riset yang dilakukan di Inggris, kata ini termasuk kata ketiga paling kasar dari seluruh kata yang ada dalam bahasa Inggris!

Meski sering digunakan sebagai umpatan, kata ‘fuck’ juga punya peranan sebagai kata kerja dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata ini punya arti bersetubuh atau bersenggama. Namun lagi-lagi, sangat kasar jika diucapkan.

Selain punya arti secara harfiah, kata ini juga kerap digunakan sebagai umpatan yang tentu saja, berkonotasi negatif. Ada banyak sekali pengembangan dalam penggunaan kata ini.
Dalam penggunaannya, kata ‘fuck’ kerap menjabarkan perasaan sakit, takut, jijik, kecewa, atau marah. Penempatannya pun bisa beragam, dari sebagai verba, ajektif, penegasan, kata benda, dan masih banyak lagi.

Misalnya, ada sebuah lirik lagu yang dinyanyikan oleh Korn feat Amy Lee yang berjudul ‘Freak on a Leash’ yang di dalamnya memuat kata ‘fuck’, yakni sebagai berikut.

Something take a part of me
You and I were meant to be
A cheap fuck for me to lay
Something take a part of me

Kata ‘fuck’ di situ muncul mungkin bisa diartikan sebagai sesuatu yang negatif, namun wajib ada untuk mendukung nilai-nilai emotif yang ada di dalam lagu. Namun, dalam sistem sosial, tetap saja kata tersebut disensor karena mampu menimbulkan kesalahan tafsir dari para pendengar, terutama yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Ibu atau bahasa kedua mereka.

Harus Lebih Hati-Hati

Seperti yang sudah dibicarakan di atas, penggunaan kata ‘fuck’ dalam masyarakat Indonesia bisa dihindari dengan cara menyensor berbagai tayangan, lagu, dan hal lain yang di dalamnya memuat kata tersebut.

Sayangnya, kadang lembaga sensor tak bisa jadi satu-satunya unsur penyaring yang ada. Sering kali tayangan film di bioskop maupun lagu yang ada di luar sana masih menggunakan kata ‘fuck’ dalam percakapan.

Maka, peranan orang dewasa tentu saja sangat penting dalam menyaring materi yang ada di pasaran. Misalnya saja, perhatikan materi tersebut ditujukan untuk usia berapa; apakah untuk 17 tahun ke atas atau memang butuh bimbingan orang tua.

Orang tua tidak boleh terlalu keras melarang anak untuk mendengar atau melihat hal yang sesuai dengan usianya. Namun, tetap lakukan pengawasan dan pendekatan secara personal kepada anak agar ia mampu membuka hati dan pikirannya terhadap saran orang tua.

Anak akan lebih menghargai orang tua yang juga menghargai diri mereka. Biarkan anak menemukan banyak hal dari lingkungan pergaulannya. Namun, jangan dibiarkan sendirian dan berlarut-larut sehingga ia terjebak pada situasi moral yang tidak diharapkan orang tua.
Lakukan sharing dan tanya jawab secara tidak langsung ketika anak dan orang tua sedang dalam situasi santai. Lebih baik lagi, jika orang tua memberikan contoh pergaulan yang baik dan menyenangkan saat mereka masih muda dulu.

Hal itu akan menambah motivasi anak untuk bisa berkembang dan bergaul lebih baik dibandingkan dengan anak yang dididik secara keras untuk patuh terhadap segala perintah orang tua.

Jika anak datang membawa kata-kata yang kurang baik, jangan serta merta langsung memarahinya, apalagi dengan menggunakan kekerasan fisik. Dekatilah dengan cara baik-baik. Tanyakan apa arti kata tersebut dan dampak yang didapatkan bila kata tersebut digunakan seenaknya.

Dengan cara seperti itu, anak tidak akan merasa digurui. Anak akan malu dengan sendirinya, lantas melakukan introspeksi dan perubahan secara personal atas kesadarannya sendiri.
Tanpa harus dipaksa, anak juga akan mulai memahami situasi budaya seperti apa yang pantas untuk diturutinya serta budaya seperti apa yang tidak pantas untuk diikutinya.

Dengan begitu, tiap-tiap orang akan lebih bijak dalam menggunaan kata fuck, atau bahkan, lebih baik tak perlu diucapkan sama sekali dan memilih kata lain yang lebih sopan. Jika masih ada kata yang baik, kenapa mesti mencari yang kasar dan buruk?
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments

Post a Comment